Tentang DIA


Sepasang bola mata dibalik bingkai hitam itu memandang ke arah kerumunan orang. Ia duduk sendiri sambil menselonjorkan kakinya. Bias cahaya matahari mengenai wajahnya, hingga sinar kuningnya berpadu dengan kulit sawo matang itu. Kedua tangannya menopang tubuhnya di belakang. Aku yang berada jauh di seberangnya, tak sadar jadi memperhatikan.
Ia tersenyum kecil masih tanpa menoleh. Tentu senyum yang hanya bisa kau lihat apabila kau benar-benar memperhatikan karena ia hanya menaikkan bibirnya beberapa senti saja.
Aku duduk memangku tangan, mengingat kenangan beberapa waktu lalu. Dulu, siapa pun yang duduk sendiri entah aku atau ia, kami akan saling menghampiri. Mengobrol banyak hal, mendiskusikan berbagai topik, hingga hampir berdebat namun masih sambil diiringi renyah tawa.
Sekarang, kami duduk berjauhan bersebrangan dan saling mengetahui saja terasa sudah cukup. Anggap saja, kami sedang saling bercerita dalam hati masing-masing. Aku tetap merasa sedang ditemani ia dari kejauhan. Jarak memang semakin menjauhkan kami, tapi makna jauh pun tak selalu berarti buruk.
Aku menyipitkan mata, rasanya silau sekali. Ah, ternyata sinar itu juga menuju aku yang sedang duduk ‘menemani’ ia. Aku tersenyum senang, seperti semesta sedang menyatukan aku dan ia lewat cahaya matahari yang dipancarkan. Meski melepaskannya adalah hal tersulit, terkadang banyak hal yang tak aku sadari bahwa sebenarnya masih banyak hal yang membuatku tak perlu menoleh ke belakang. Aku sadar, waktu kami telah habis, namun kami berpisah demi takdir kami masing-masing. Tak ada keburukan yang tertinggal, namun kebaikanlah yang perlahan menyusul.
Di bawah sinar matahari yang hangatnya menerpa wajahku dan ia, kami tersenyum bersama. Mungkin alasan kami untuk tersenyum juga telah berbeda, namun aku tahu bahwa akan selalu ada jalan untuk kami saling bahagia pada pilihan masing-masing.

***
Ia duduk sendirian di pojok selasar masjid. Dari jauh aku melihatnya mengenakan kerudung berwarna merah marun yang seakan mewakilkan jiwanya yang sedang murung. Sesekali temannya menyapanya dan lalu ia mencoba seceria mungkin. Setelah itu, muram kembali menghampiri wajahnya.
Setelah mencuri pandang beberapa detik, aku kembali melihat ke kerumunan. Dulu, aku biasa berjalan bersamanya di kerumunan itu. Terkadang kami melontarkan lelucon yang hanya dimengerti oleh kami, sehingga berujung pada aku dan dia menjadi pusat perhatian karena tertawa sendiri.
Ia memangku tangannya. Seperti kesal dengan sesuatu. Jangan ditanya, mataku ini memang ajaib. Sangat pandai untuk berpura-pura tak melihat, padahal aslinya memperhatikan setiap gerakan-gerakan kecil yang dilakukan olehnya.
Kami memilih berjarak. Bukan—bukan untuk berjauhan, tapi terlebih untuk menjaga kehormatan diri masing-masing. Perpisahan tak selalu berarti buruk. Masih banyak cita-cita yang perlu kami capai. Biarlah waktu nantinya yang akan menjadi saksi jika kami memang ditakdirkan untuk kembali berdua.
Adzan dzuhur menyadarkanku dari lamunan. Waktunya kembali untuk ‘berbincang’ dengan Yang Maha Kuasa. Aku menoleh, ia sudah tak ada disitu. Sepertinya sudah masuk untuk mengambil air wudhu. Alhamdulillah, ia masih tetap sama.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR DARI MAWAR MERAH

Hiduplah Seperti Akar

50 Nama-nama CINTA